Melupa
Kenangan tentang caramu bercerita ternyata membekas sebegitu dalam. Padahal anggapmu padaku hanya sebatas teman. Bagimu, aku tak pernah tinggal di ingatan. Tapi kenapa kamu untukku begitu mengesankan? Kalimat roman bahkan tak pernah kamu lontarkan. Mengapa menyudahi ini terasa begitu sulit dijelaskan?
Aku tak mengerti ini. Aku tak mengerti mengapa delusiku tentangmu sulit disudahi. Aku tahu ini salah. Aku tahu sakitku akan terus bertambah jika kamu dikhayalku tak juga punah. Aku tahu, sungguh. Namun, pertanyaan demi pertanyaan malah semakin memenjarakan. Jawaban demi jawaban tak ada yang memuaskan.
Demi apapun, aku ingin kembali. Pada setiap tawa tanpa senyummu. Pada setiap duka tanpa pergimu. Dan pada kehidupan yang tanpa namamu.
Aku pernah ingin lupa. Pernah merutuki diri sendiri sebagai manusia bodoh tak terkira. Aku pernah semenyedihkan itu. Namun yang kudapat hanya percuma dan percuma. Semuanya bagai rentetan memori pedih yang sulit menjadi pulih. Mengakar seolah disirami dengan senang hati. Menghunjam seakan hanya ia yang pantas hidup abadi dalam reminisensi.
Saat kurasa semua ini mulai berjalan dengan tidak wajar. Aku berpikir kembali, kenapa hanya aku yang terlampau sukar? Kenapa lagi-lagi harus aku sendiri yang merasakan penyiksaan seakan semesta hanya tahu bahwa aku perempuan tegar yang baik-baik saja setelah terlempar hingga terkapar tak berdaya. Mereka dan bahkan semesta tak pernah tau berapa banyak sedih yang telah kutelan bulat-bulat. Mereka tak pernah tau aku hanya berpura-pura kuat.
Jika aku boleh menawar, aku tidak ingin melupakan apapun yang tercatat sebagai kenangan. Jika aku terlalu berani, aku ingin menjadi satu-satunya yang pantas untuk dicintai. Setidaknya, untuk saat itu. Barangkali ketika itu aku sungguh-sungguh tidak sadar diri, kamu boleh menamparku berkali-kali.
Sekeras apapun aku menarik diri ke belakang, kamu tidak akan pernah benar-benar hilang di lubuk pandang. Bohong jika aku tidak sukar membiarkan bayanganmu pudar begitu saja. Kamu hadir dengan cara yang sangat halus dan dengan hati aku mempersilakanmu dengan sangat tulus.
Namun, lagi-lagi aku ditertawai realita. Aku seharusnya berhenti detik itu juga. Seharusnya aksara ini tidak sedemikian menyiksa. Sebelum aku menggila, Aku dengan sepenuh duka menyatakan aku telah menyerah pada rangkaian proses melupa yang terlalu memaksa. Aku akan membiarkan waktu dan orang baru mengambil bagiannya. Berharap yang hilang dalam bayang bukan hanya rupa tapi juga rasa.
Nesi & Naeli
Komentar
Posting Komentar