Benderang Sabit

Di sesaknya ruang  ini, aku mengingatmu lagi.

Berdiri di sana, di antara pasir putih berbelakangan dengan semburat oranye yang menyilaukan. Di batas itu, aku sepenuhnya sadar, bahwa melihat dan mengagumi sabit milikmu adalah hal paling indah dalam memoar ingatanku. Frekuensinya yang paling sering diputar. Jika bisa, aku ingin menyimpannya di penjuru dinding dan atap kamarku; satu kenangan itu.

Meski pada saat itu juga; pada lensa kamera-ku, aku sempat mencemburuinya sebab ia dapat mengabadikanmu juga. Padahal, aku inginnya hanya memori milikku yang satu-satunya memiliki sosokmu.

Tapi sayang, jauh sesudah itu, aku menjatuhkan diri tanpa bersiap. Aku lupa bahwa untuk menjadi kita, perlu aku dan kamu. Sesederhana jika aku menjadi bibir, kau seharusnya menjadi telinga. Jika aku menjadi air mata, kau seharusnya menjadi bahu. Aku sudah berkian kali membaca hal remeh ini di setiap lembaran fiksi, tapi ketika itu menghampiriku, aku seolah tidak mengerti apa-apa. Yang memenuhi pikirku adalah indah bulan sabit yang dapat kutemui pada saat terang. 

Sekarang, sampai aku telah benar-benar kehilangan sabitmu; kehilanganmu. 

Kita tidak pernah saling; hanya aku yang menuliskan ini dengan perasaan penuh.

Komentar

Postingan Populer